Indonesia.go.id - Gamelan dari Le Kampong Javanais

Gamelan dari Le Kampong Javanais

  • Administrator
  • Kamis, 17 Januari 2019 | 08:54 WIB
ALAT MUSIK TRADISIONAL
  Gamelan dari Le Kampong Javanais. Sumber foto: Dok Squarespace

Jika seseorang mendengarkan gamelan tanpa prasangka, orang akan mampu menangkap sihir-sihir nada-nada perkusi yang mau tidak mau memaksa kita untuk mengakui bahwa selama ini musik yang kita punya (barat) tak lebih dari bebunyian yang hanya pantas mengiringi sirkus keliling.

Lelaki muda itu menghabiskan berjam-jam waktunya, mendengarkan alunan musik yang dimainkan di sebuah anjungan pameran yang diberi nama Le Kampong Javanaise. Keningnya berkerut keras, telinganya berdenyut seiring bunyi-bunyian yang dia dengar menimbulkan sebuah kesan yang sama sekali berbeda dari yang dia kenal dalam tradisi musik Eropa, yang sekian lama dia pelajari.

Anjungan pameran itu terletak di salah satu sudut alun-alun Des Invalides, tepatnya di sekitar bangunan Champ de Mars, di tengah-tengah Kota Paris. Anjungan itu adalah salah satu dari beberapa gerai favorit yang dikunjungi oleh para pengunjung salah satu pameran “kebudayaan" terbesar dalam sejarah Eropa di akhir abad 19. Pameran itu diberi nama Paris Universal Exposition yang berlangsung sejak Mei hingga November pada 1889.

Majalah Historia, pernah menulis tentang pameran yang sangat bersejarah itu. Konon pameran itu telah menarik lebih dari 30 juta pengunjung ke Kota Paris dalam rentang waktu enam bulan. Jumlah yang sangat fantastis hingga saat ini. Bandingkan dengan jumlah wisatawan ke Kota Yogyakarta tahun 2017 yang berada pada angka kurang lebih 5 juta wisatawan. Lebih fantastis lagi jika dibandingkan dengan populasi negara Prancis padazaman itu yang rata-rata berada pada angka 40 juta penduduk.

Pemerintah Hindia Belanda adalah pihak yang membangun miniatur yang menggambarkan sebuah kampung di wilayah kepulauan tropis nun jauh di ujung timur dunia. Tak tanggung-tanggung, Pemerintah Hindia Belanda tidak hanya membangun replika sebuah kampung, replika bangunan candi Candisari yang berkarakteristik Hindu kuno berdampingan dengan bangunan serupa rumah gadang dari Minangkabau melengkapi beberapa gambaran budaya negeri kepulauan yang terkenal dengan keragamannya.

Lelaki muda berumur 27 tahun itu bernama Claude Debussy. Dia adalah seorang pemain dan komposer musik yang sedang mencari "signature" atau penanda khas bagi karya-karyanya. Di negeri yang sarat dengan komposer-komposer musik papan atas, Claude Debussy, ternyata mendapatkan impresi yang luar biasa dari nada-nada yang keluar dari sederetan perangkat alat musik perkusi dengan bunyi-bunyian yang saling berselaras dengan cara yang sama sekali berbeda dari yang pernah dia tahu.

Claude Debussy tidak seperti pengunjung awam yang tertarik dengan eksotika "Mooi Indies". Pesona budaya bangsa tropis yang dianggap sangat eksotik bagi publik Eropa yang mempunyai ketertarikan melihat selayaknya eksotika kebun binatang atau bahkan sirkus.

Claude Debussy menangkap sesuatu yang unik, sesuatu yang genuin, yakni cara memainkan musik yang sama sekali berbeda dari tradisi Eropa. Dia mematut-matut dirinya berjam-jam sambil mendengar dengan seksama bunyi-bunyian yang dimainkan, sembari coba mencatat komposisi yang dia tangkap. Seorang temannya yang bernama Robert Godet menulis, "Berjam-jam Debussy menghabiskan waktu di Le Kamping Javanais, ... mendengarkan ritme perkusi gamelan yang menyajikan kombinasi permainan yang luar biasa indah."

Permenungan Debussy terhadap cara bermain orang-orang kepulauan dari Timur tertulis dalam ungkapannya berikut: "Di samping segala macam kesulitan yang dihadirkan oleh peradaban (manusia) saat ini, orang-orang luar biasa ini telah belajar musik dengan sangat wajarnya, selayaknya seseorang belajar bernafas."

Debussy menangkap, tidak terpesona hanya pada eksotisme, bahwa orang-orang dari negara kepuauan ini telah memainkan musik selama sekian lama peradaban manusia menghadirkan dirinya sebagai bagian wajar dari kehidupan sehari-hari. Bermain musik bagi orang Nusantara, dalam hemat Debussy, sama dan sebanding dengan kemampuan orang Nusantara belajar mengolah tanah, menanam padi, menyiangi sawah, hingga memanen hasilnya.

Debussy, begitu mendengar nada-nada gamelan yang dibunyikan dalam satu siklus geometri titi nada, bisa merasakan bagaimana keseharian orang Nusantara saat menyiapkan makan hingga melakukan pekerjaan sehari-hari. Gamelan bukanlah ajang pamer bermain musik yang menonjolkan permainan individu. Gamelan adalah cara bermain musik kolaboratif menuju keselarasan yang dalam istilah orang Nusantara diistilahkan dengan istilah sederhana yakni gotong-royong.

Henry Spiller dalam bukunya Gamelan The Traditional Sound of Indonesia (2004) menulis, ".... cara mudah menggambarkan musik gamelan adalah suatu cara bermain musik bersama di dalam satu kelompok dengan kerja sama yang saling menguntungkan, yang menghasilkan sajian musik yang "harmonius" atau saling menyelaraskan.”

Harmoni dalam musik diatonis seringkali muncul dalam bentuk beberapa nada yang berbeda dibunyikan bersama-sama hingga memunculkan nuansa yang biasa disebut chord. Chord dalam musik barat juga bisa serupa Arpeggio atau dimainkan dengan berseling-seling dengan berbagai variasi pukulan yang menghadirkan warna yang menaungi titi nada.

Musik gamelan ketika dibunyikan serupa chord ternyata tidak bisa. Musik gamelan mirip dengan eksekusi Arpeggio, tetapi dalam satu bangunan komposisi dan ritmik yang sama sekali berbeda.

Debussy menggambarkan musik barat sebagai musik yang beroritentasi pada tujuan. Untuk mengekspresikan sesuatu. Musik barat disusun dengan sangat seksama untuk menceritakan suatu ide hingga mencapai klimaksnya.

Brent Hugh dari halaman blognya Brenthugh.com menjelaskan, kemampuan Debussy menangkap intisari gamelan. Gamelan sangat berbeda, ritma siklis atau lingkaran pada gamelan tidak bergerak selayaknya waktu yang terus berjalan maju. Musik gamelan menceritakan sebuah siklus hidup, siklus sejarah, tentang kelahiran dan kematian, tentang jatuh bangunnya suatu peradaban, tentang siang dan malam, tentang duka dan senang, siklus yang telah berlangsung dari keabadian menuju keabadian. Cara memainkan gamelan tidak ditemukan sama sekali dalam musik Barat, bagaikan pandangan yang statis dalam melihat sejarah.

Dari "ruh" gamelan, Debussy melahirkan komposisinya memainkan titi nada barat dengan "cara" gamelan. Lahirlah komposisi Debussy yang diberi nama "Pagodes" yang berarti pagoda bangunan-bangunan berstruktur tingkat yang umum dijumpai di kawasan Asia Tenggara pada masa itu.

Lebih jauh Debussy menjelaskan tentang gamelan. "Jika seseorang mendengarkan gamelan tanpa prasangka, orang akan mampu menangkap sihir-sihir nada-nada perkusi yang mau tidak mau memaksa kita untuk mengakui bahwa selama ini musik yang kita punya (barat) tak lebih dari bebunyian yang hanya pantas mengiringi sirkus keliling."

Musik gamelan yang ditangkap Debussy, bisa menghadirkan berbagai nuansa dan rasa yang berbeda-beda. Gamelan bahkan bisa menjelaskan berbagai gradasi nuansa dan bayangan perasaan. Bram Palgunadi, seorang pemerhati musik gamelan dari Bandung, menjelaskan bahwa gamelan sudah memiliki semua yang di musik barat tidak ada. Gamelan memiliki apa yang disebut ombak-ombakan yang memunculkan gema, getaran, ikatan emosi, menyalakan imajinasi. dan menggetarkan hati.

Dalam gamelan pengiring wayang, musik gamelan bisa menceritakan tentang hidup dan makna hidup. Menggambarkan duka-lara sehari-hari dan mampu mengiringi syair dan puisi. Dari cara memukul gamelan saja bisa melahirkan berbagai komposisi dan rasa yang sama sekali berbeda. Dari pesan yang ingin disampaikan, gamelan adalah paket lengkap yang mampu memberikan pelajaran tentang cara hidup leluhur dan pewarisan nilai-nilai kehidupan yang khas.(Y-1)