Indonesia.go.id - Menempatkan Orang Papua Asli Sebagai Subjek Utama Pembangunan

Menempatkan Orang Papua Asli Sebagai Subjek Utama Pembangunan

  • Administrator
  • Selasa, 17 September 2019 | 02:50 WIB
UU OTSUS PAPUA
  Aliansi Masyarakat Papua. Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

UU Otonomi Khusus telah mendudukkan orang Papua asli sebagai subjek utama pembangunan. Melalui UU ini juga bisa disimak, bagaimana desain konstruksi pelembagaan pemerintahan daerah di Papua dan Papua Barat—melalui kelembagaan MRP—senyatanya telah dirumuskan secara terintegrasi dengan mekanisme partisipasi aktif dan pelibatan masyarakat adat, masyarakat agama, dan kaum perempuan.

Sejak 2001 Papua dan Papua Barat telah mendapatkan status daerah dengan otonomi khusus (Otsus). Papua melalui UU No 21/2001 dan Papua Barat melalui UU No 35/2008.

Selain untuk mempercepat dan mengejar ketertinggalan pembangunan dari daerah-daerah lain, spirit penetapan status otsus adalah pemberian kewenangan seluas-luasnya kepada pemerintah daerah untuk merumuskan, menyusun, dan merancang strategi pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat.

Keseriusan pemerintah membangun Papua dan Papua Barat terlihat dari dikeluarkannya Inpres No 5/2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Kesinambungan untuk melakukan percepatan pembangunan ini juga masih dilakukan Presiden Joko Widodo melalui terbitnya Inpres No 9/2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Hampir dua dasawarsa sudah kebijakan status otsus diimplementasikan. Kini saatnya seluruh pendekatan pembangunan yang selama ini berjalan patut dievaluasi kembali. Muncul banyak kritik dari kalangan masyarakat sipil tentang kemandegan, kelambatan, atau bahkan kegagalan pembangunan Papua.

Sebagian kritik itu menyebutkan, situasi ini disebabkan perumusan kebijakan pembangunan selama ini dilakukan secara eksternal dan top down. Dus, kebijakan pembangunan selama ini bukanlah produk artikulasi dari bawah secara bottom up yang selaras dengan kebutuhan masyarakat adat Papua (indigenous people) sendiri.

Hasilnya yang terjadi ialah pembangunan di Papua dan Papua Barat lebih bernuasa “pembangunan di Papua”, bukanlah “pembangunan Papua”. Pembangunan justru membuat masyarakat lokal jadi teralienasi dan terpinggirkan. Masyarakat Papua disebutkan menjadi objek dan bukan subjek pembangunan.

Pertanyaannya ialah, benarkan pembangunan di Papua dan Papua Barat faktanya adalah demikian? Rasa-rasanya tentu tidak sepenuhnya benar demikian.

Mari kita simak konstruksi kebijakan pemerintah terkait status otsus. Dari sini terlihat jelas, bagaimana UU Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat telah dirumuskan dengan mengadopsi spirit mengadvokasi masyarakat adat. Sejauh mana konstruksi UU itu telah memberikan ruang yang sangat besar bagi pelibatan masyarakat adat, masyarakat agama, dan kaum perempuan ke dalam proses perumusan kebijakan pembangunan, poin-poin utamanya bisa disimak pada paparan di bawah ini.

Konstruksi Kelembagaan Pemerintah Daerah

Indigenous Peoples adalah istilah umum yang digunakan untuk merangkum kelompok-kelompok masyarakat, yang notabene memiliki kesamaan karakteristik seperti kesamaan asal-usul, tanah, wilayah, SDA, dan identitas budaya yang khas. Merujuk asosiasi yang mewadahi masyarakat adat di Indonesia yaitu AMAN, istilah lain yang serupa ialah seperti “Orang Asli? di Malaysia, Aborigin (Australia), First Nation (Kanada), Hills Peoples, Hills Tribes, Adivasi, dan masih banyak lagi lainnya.

Seperti diketahui sejak 1950-an, persoalan Indigenous People telah menjadi perhatian Organisasi Buruh Internasional (ILO).  ILO menggunakan istilah Indigenous People sebagai sebutan bagi entitas “Penduduk Asli”. Menyusul kemudian deklarasi PBB tentang hak-hak Masyarakat Adat, juga menggunakan istilah “Indigenous People”.

PBB mendefinisikan Indigenous People sebagai “Spektrum kelompok sosial yang luas, meliputi Indigenous Ethnic Minorities, Tribal Groups, atau Schedules Tribes, yaitu kelompok yang memiliki sebuah identitas sosial dan kultural yang dapat dibedakan dari masyarakat dominan, yang membuat mereka tidak diuntungkan dalam proses pembangunan.”

Seperti nanti terlihat, UU Otonomi Khusus sangat jelas bukan hanya telah mengadopsi spirit PBB tersebut, melainkan juga telah mendorong kebijakan afirmatif (affirmative action). Merujuk UU UU Otonomi Khusus, setidaknya ditemukan tiga kata kunci yaitu ‘Masyarakat Adat’, ‘Masyarakat hukum adat’, ‘Orang Asli Papua’, yang definisi atau kriterianya ialah sebagai berikut:

Masyarakat adat didefinisikan sebagai: “…warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya”;

“Masyarakat hukum adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya”;

Sementara, “Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh Masyarakat Adat Papua”.

Sebelum lebih jauh melihat bagaimana konstruksi perundang-undangan ini telah memberikan ruang yang sangat besar bagi pengakuan eksistensi masyarakat adat, hukum adat, dan hak ulayat, di sini penting dicatat tentang bentuk pemerintah daerah di Papua maupun Papua Barat. Bahwa, model pemerintahan daerah di sana sejatinya telah didesain sebegitu rupa dengan karakter “kekhususan”.

Simaklah Bab V, Bentuk dan Susunan Pemerintahan, misalnya. UU ini menyebutkan secara eksplisit, bahwa pilar utama penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua dan Papua Barat terdiri tiga komponen. Tiga komponen itu ialah Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP/DPRD), Pemerintah Daerah (gubernur, wali kota/bupati), dan MRP (Majelis Rakyat Papua). MRP sendiri posisinya boleh dikata sederajat dengan DPRP/DPRD.

Menarik dicatat di sini. Merujuk pada Bagian Ketiga, Bab Eksekutif, Pasal 11 Ayat (3) khususnya Poin (a) disebutkan: “yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat” antara lain ialah harus “orang asli Papua”.

Artinya, sebanyak 1 gubernur, 1 wali kota dan 28 bupati di Papua, plus 1 gubernur, 1 walikota dan 12 bupati di Papua Barat, bisa dipastikan di sepanjang realisasi status otonomi khusus, yaitu dari 2001 hingga saat ini, semua pemimpin eksekutifnya ialah ‘orang asli Papua’ dan bukan pendatang.

Sebagai pembanding, Provinsi Aceh, misalnya. Merujuk UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, jelas regulasi ini memiliki kemiripan dengan UU Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat. Bahwa, pemerintah di Provinsi Aceh diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.

Namun bicara soal pengisian jabatan puncak eksekutif-nya, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, Provinsi Aceh tetap tidak mensyaratkan ketentuan orang asli Aceh sebagai satu-satunya asal-usul etnis.

Majelis Rakyat Papua

Lantas, pertanyaannya ialah bagaimana dengan posisi masyarakat adat? Menyimak Bagian Keempat, Majelis Rakyat Papua (MRP), Pasal 19 – 25, sangat jelas bahwa representasi kultural dari masyarakat adat Papua telah diberikan ruang yang sangat besar.

Apakah itu definisi MRP? Merujuk UU Otonomi Khusus pada Pasal 1 Poin (g) dan Pasal 5 Ayat (2) disebutkan bahwa: “Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.”

Merujuk regulasi itu, tugas dan wewenang MRP antara lain: Pertama, memberikan pertimbangan dan persetujuan atas bakal calon gubernur dan wakil gubernur. Kedua, MRP berfungsi memberi pertimbangan dan persetujuan atas calon anggota DPD. Ketiga, MRP juga berfungsi memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan legislasi daerah yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan gubernur, atau bahkan memiliki kuasa mengajukan peninjauan ulang atas perda maupun pergub yang ada.

Keempat, terkait perlindungan hak-hak orang asli Papua, MRP juga bisa memberi saran, pertimbangan, dan persetujuan atas rencana perjanjian kerja sama yang dibuat oleh pemerintah maupun pemerintah provinsi dengan pihak ketiga. Kelima, MRP bisa menerima pengaduan masyarakat adat, umat beragama, dan kaum perempuan, atau bahkan masyarakat pada umumnya, serta bertugas menyalurkan aspirasi itu dan memfasilitasi tindaklanjut penyelesaiannya.

Selain itu, keenam, MRP berfungsi memberi pertimbangan kepada DPRP, gubernur, DPR kabupaten/kota dan bupati/wali kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.

Sementara, bicara soal keanggotaan MRP, merujuk Pasal 24 Ayat (1) disebutkan: “Pemilihan anggota MRP dilakukan oleh anggota masyarakat adat, masyarakat agama, dan masyarakat perempuan.”

Bicara secara lebih teknis perihal keaggotaan MRP, merujuk Peraturan Pemerintah 54/2004 tentang Majelis Rakyat Papua, disebutkan lembaga ini berkedudukan di ibu kota provinsi (Pasal 2). Keanggotaan MRP terdiri dari orang-orang asli Papua. Berasal dari wakil-wakil adat, wakil agama, dan wakil kaum perempuan. Jumlah keseluruhan anggota tidak lebih dari tiga per empat jumlah anggota DPRP, di mana komposisi masing-masing dari tiga elemen tersebut ialah sepertiga. Masa keanggotaan MRP ialah lima tahun (Pasal 3).

Dengan demikian MRP merupakan representasi kultural orang asli Papua. Lembaga ini memiliki tugas dan kewenangan untuk menjaga kepentingan dan perlindungan hak-hak dasar orang Papua dengan melakukan pengawasan terhadap seluruh kebijakan pemerintah (gubernur/bupati/wali kota) dan DPRP/DPRD.

Tanah Ulayat

Tak hanya itu. UU Otonomi Khusus juga telah mengakomodasi spirit advokasi masyarakat adat. Menyimak Bab XI, Perlindungan Masyarakat Adat, Pasal 43 Ayat (1 - 5), telah ditekankan di sana, bahwa Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan, dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat.

Terkait penggunaan tanah ulayat untuk keperluan apapun, regulasi ini bahkan mensyaratkan proses tersebut harus melalui mekanisme musyawarah dengan masyarakat adat dan hukum adat dari pemilik tanah itu. Dengan begitu adanya kesepakatan dalam musyawarah dipastikan mendahului proses penerbitan aspek legalitas oleh instansi yang berwenang (gubernur, bupati/wali kota).

Menyimak kontruksi regulasi UU Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat dapat disimpulkan, selain spirit mengadvokasi masyarakat adat sudah terlihat kuat dirumuskan, lebih jauh juga pekat dengan tendensi kebijakan afirmatif oleh pemerintah.

Ya, bagaimanapun UU Otonomi Khusus jelas telah mendudukkan orang Papua asli sebagai subjek utama pembangunan. Melalui UU Otonomi Khusus juga bisa disimak, bagaimana desain konstruksi pelembagaan pemerintahan daerah di Papua dan Papua Barat—melalui kelembagaan MRP—senyatanya telah dirumuskan secara terintegrasi dengan mekanisme partisipasi aktif dan pelibatan masyarakat adat, masyarakat agama, dan kaum perempuan. (W-1)